Tuesday 19 August 2008

Syair 19-20 (I:14. Kisah Dua Orang Sahabat )


Suatu ketika terdapat dua orang sahabat yang berasal dari keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, dan sangat ahli/pandai dalam menguraikan dan mengkhotbahkan Dhamma tersebut. Dia mengajar lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas group dari para bhikkhu tersebut.

Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin dalam meditasi sehingga ia mencapai tingkat kesucian arahat dengan memiliki pandangan terang analitis.

Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut bertemu. Bhikkhu ahli Dhamma tidak mengetahui bahwa bhikkhu sahabatnya telah menjadi seorang arahat. Dia memandang rendah bhikkhu kedua itu, dia berpikir bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ingin membuat malu.

Sang Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Sang Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam kehidupan yang lebih rendah.

Dengan dilandasi kasih sayang, Sang Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya. Sang Buddha sendiri bertanya perihal ‘Penunggalan Kesadaran?(jhana) dan ‘Jalan Kesucian?(magga) kepada guru Dhamma; tetapi dia tidak dapat menjawab karena dia tidak mempraktekkan apa yang telah diajarkan.

Bhikkhu sahabatnya telah mempraktekkan Dhamma dan telah mencapai tingkat kesucian arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Sang Buddha memuji bhikkhu yang telah mempraktekkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu kata pujianpun yang diucapkan Beliau untuk orang yang terpelajar (ganthika).

Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti, mengapa Sang Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak memuji kepada guru yang telah mengajari mereka. Karena itu, Sang Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.

Pelajar yang banyak belajar tetapi tidak mempraktekkannya sesuai Dhamma adalah seperti pengembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk memperoleh upah, sedangkan seseorang yang mempraktekkan sesuai Dhamma adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh murid-muridnya, bukan manfaat dari ‘Jalan?dan ‘Hasil Kesucian?(magga-phala).

Bhikkhu lainnya, berpikir dia mengetahui sedikit dan hanya bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, telah memahami dengan jelas inti dari Dhamma dan telah mempraktekkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah seseorang yang berkelakuan sesuai Dhamma (anudhammacari). Yang telah menghancurkan nafsu indria, kebencian, dan ketidak-tahuan, pikirannya telah bebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini maupun pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari ‘Jalan?dan ‘Hasil Kesucian?(magga-phala).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 19 dan 20 berikut ini :

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci,
tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran,
maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain;
ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci,
tetapi berbuat sesuai dengan ajaran,
menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu,
tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana;
maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Syair 18 (I:13. Kisah Sumanadevi )


Dekat Savatthi, di rumah Anathapindika dan rumah Visakha, dua ribu bhikkhu memperoleh pelayanan makanan setiap hari.

Di rumah Visakha, dana makanan diatur pemberiannya oleh cucu perempuannya. Di rumah Anathapindika, pengaturan dana makanan dilakukan, pertama oleh anak perempuan Anathapindika tertua, kemudian oleh anak perempuan kedua, dan akhirnya oleh Sumanadevi, anak perempuan yang termuda. Kedua saudara perempuannya yang lebih tua mencapai tingkat kesucian sotapati dengan mendengarkan Dhamma, setelah melayani dana makan para bhikkhu. Sumanadevi melakukan lebih baik dan ia mencapai tingkat kesucian sakadagami.

Suatu ketika Sumanadevi jatuh sakit, dan di tempat tidurnya ia memohon kehadiran ayahnya. Ayahnya datang, ia memanggil langsung ayahnya sebagai "Adik laki-laki" (kanitha bhatika), kemudian ia meninggal dunia.

Istilah panggilan itu membuat ayahnya khawatir, gelisah, dan berduka cita, memikirkan bahwa putrinya telah mengigau dan tidak dalam waktu kesadaran yang tepat pada saat kematiannya. Ia menghampiri Sang Buddha, dan menceritakan perihal putrinya, Sumanadevi.

Sang Buddha berkata kepada orang kaya yang berbudi luhur itu bahwa putrinya telah dalam kesadaran dan sepenuhnya tenang pada saat ia meninggal dunia. Sang Buddha juga menjelaskan bahwa Sumanadevi telah menyebut ayahnya dengan sebutan "adik laki-laki" karena ia mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi daripada tingkat kesucian ayahnya. Ia adalah seorang sakadagami sedangkan ayahnya hanya seorang sotapanna. Anathapindika juga diberitahu bahwa Sumanadevi telah dilahirkan kembali di surga Tusita.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 18 berikut :

Di dunia ini ia bahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir, "Aku telah berbuat bajik" , dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia.

Syair 17 (I:12. Kisah Devadatta )


Suatu saat Devadatta menetap bersama Sang Buddha di Kosambi. Selama tinggal di sana ia menyadari bahwa Sang Buddha menerima banyak perhatian dan penghormatan maupun pemberian. Dia merasa iri hati terhadap Sang Buddha dan bercita-cita untuk memimpin Sangha yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Pertama, dengan menggunakan beberapa pemanah sewaan. Kedua, dengan memanjat ke atas bukit Gijjhakuta dan menjatuhkan sebuah batu besar kepada Sang Buddha; dan ketiga, dengan memabukkan Gajah Nalagiri untuk menyerang Sang Buddha.

Pemanah sewaan kembali setelah mencapai tingkat kesucian sotapatti, tanpa menyakiti Sang Buddha.

Batu besar yang didorong jatuh oleh Devadatta melukai sedikit ibu jari kaki Sang Buddha, dan ketika gajah Nalagiri lari menuju Sang Buddha, ia dibuat jinak oleh Sang Buddha.

Dengan demikian Devadatta gagal untuk membunuh Sang Buddha. Dia mencoba siasat lainnya, mencoba memecah belah Sangha dengan cara membawa pergi beberapa bhikkhu baru, menyingkir bersamanya ke Gayasisa.

Bagaimanapun juga, banyak di antara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggalana Thera.

Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Mendengar kabar bahwa Devadatta akan tiba, Sang Buddha berkata kepada murid- murid-Nya bahwa Devadatta tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menemui-Nya.

Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus menerus.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 17 berikut :

Di dunia ini ia menderita, di dunia sana ia menderita;
pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu.
Ia meratap ketika berpikir,"Aku telah berbuat jahat,"
dan ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara.

Syair 16 (I:11. Kisah Upasaka Dhammika )


Di Savatthi ada seseorang yang bernama Dhammika. Ia seorang umat yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu yang istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur dan tinggal di dekat Savatthi.

Dhammika mempunyai tujuh orang putra dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi luhur dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya ia membuat permohonan kepada Sangha untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.

Ketika para bhikkhu membacakan "Mahasatipatthana Sutta" , enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka untuk menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka disuruh untuk berhenti, maka mereka berhenti dan kemudian meninggalkan tempat itu.

Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut, kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.

Demikianlah orang berbudi luhur berbahagia di dunia ini sama seperti di alam berikutnya.

Hal ini dibabarkan Sang Buddha sebagai syair 16 berikut :

Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira; pelaku kebajikan bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih.

Syair 15 (I:10. Kisah Cundasukarika)


Pada suatu dusun tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ke tujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).

Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.

Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata,"Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini sama seperti pada alam berikutnya.

Hal itu diwejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini :

Di dunia ini ia bersedih hati, di dunia sana ia bersedih hati; pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.

Syair 13-14 (I:9. Kisah Nanda Thera )


Suatu ketika Sang Buddha menetap di Vihara Veluvana, Rajagaha. Waktu itu ayah-Nya, Raja Suddhodana, berulangkali mengirim utusan kepada Sang Buddha, meminta Beliau mengunjungi kota Kapilavatthu. Memenuhi permintaan ayahnya, Sang Buddha mengadakan perjalanan dengan diikuti oleh sejumlah besar arahat.

Saat tiba di Kapilavatthu Sang Buddha bercerita tentang Vessantara Jataka di hadapan pertemuan saudara-saudaranya. Pada hari kedua, Sang Buddha memasuki kota, dengan mengucapkan syair berawal "Uttitthe Nappamajjeyya ..." (artinya seseorang harus sadar dan tidak seharusnya menjadi tidak waspada ...). Beliau menyebabkan ayah-Nya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Ketika tiba di dalam istana, Sang Buddha mengucapkan syair lainnya berawal "Dhammam Care Sucaritam ..." (artinya seseorang seharusnya mempraktekkan Dhamma ...), dan sang raja berhasil mencapai tingkat kesucian akadagami.

Setelah bersantap makanan, Sang Buddha menceritakan tentang Candakinnari Jataka, berkenaan kisah kebajikan ibunya Rahula.

Pada hari ketiga, di istana berlangsung upacara pernikahan Pangeran Nanda, sepupu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke sana untuk menerima dana makanan (pindapatta), dan memberikan mangkok-Nya kepada Pangeran Nanda. Kemudian Sang Buddha pergi meninggalkannya tanpa meminta kembali mangkok-Nya.

Karena itu sang pangeran, sambil memegangi mangkok, berjalan mengikuti Sang Buddha. Pengantin putri, Janapadakalyani, melihat sang pangeran pergi mengikuti Sang Buddha, terus berlari dan berteriak pada sang pangeran untuk kembali secepatnya. Ketika tiba di vihara, Sang Pangeran diterima dalam Sangha sebagai seorang bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha berpindah ke vihara yang didirikan oleh Anathapindika, di hutan Jeta dekat Savatthi.

Selama tinggal di sana Nanda merasa tidak senang, dan setengah kecewa serta menemukan sedikit kesenangan dalam hidup sebagai seorang bhikkhu. Ia ingin kembali pada kehidupan berumah-tangga karena ia terus teringat kata-kata dari Putri Janapadakalyani, memohonnya untuk kembali secepatnya. Hatinya menjadi goyah. Dan semakin goyah.

Mengetahui hal tersebut, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa, memperlihatkan kepada Nanda beberapa dewi yang cantik dari surga Tavatimsa, jauh lebih cantik daripada putri Janapadakalyani.

Sang Buddha bertanya kepada Nanda, "Siapakah yang lebih cantik, putri Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu ?"

"Tentu saja mereka jauh lebih cantik dibandingkan dengan putri Janapadakalyani", jawab Nanda.

Sang Buddha berkata lagi kepada Nanda, "Apabila engkau tekun dalam mempraktekkan Dhamma, Aku berjanji untuk membantumu memiliki dewi-dewi itu."

Mendengar pernyataan itu, Nanda tertarik dan sekali lagi berjanji akan mematuhi Sang Buddha.

Bhikkhu-bhikkhu yang lain menertawakan Nanda dengan berkata bahwa ia seperti orang bayaran, yang mempraktekkan Dhamma demi memperoleh wanita cantik, dan sebagainya.

Nanda merasa sangat tertekan dan malu. Karena itu dalam kesendirian, ia mencoba dengan keras mempraktekkan Dhamma, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Sebagai seorang arahat, batinnya bebas dari semua ikatan dan keinginan. Dan Sang Buddha juga bebas dari janji-Nya kepada Nanda. Semua ini telah diketahuiNya sejak awal.

Bhikkhu-bhikkhu yang lainnya, yang semula mengetahui bahwa Nanda tidak gembira menjalani hidup sebagai bhikkhu kembali bertanya bagaimana ia bisa mengatasinya.

Nanda Thera menjawab bahwa sekarang ia tidak lagi terikat dengan kehidupan berumah-tangga. Mereka berpikir Nanda tidak berkata yang sebenarnya. Karena itu mereka mencari keterangan perihal masalah itu kepada Sang Buddha, dengan menyatakan keragu-raguan mereka.

Sang Buddha menjelaskan kepada mereka bahwa sebelumnya, kenyataan alamiah Nanda sama seperti atap rumah yang bocor, tetapi sekarang rumah itu telah dibangun dengan atap rumah yang baik.

Penjelasan itu diakhiri dengan syair 13 dan 14 berikut ini :

Bagaikan hujan yang dapat menembus rumah beratap tiris,
demikian pula nafsu akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.

Bagaikan hujan yang tidak dapat menembus rumah beratap baik,
demikian pula nafsu tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.

Syair 11-12 (I:8. Kisah Sariputta Thera )

Upatissa dan Kolita adalah dua orang pemuda dari dusun Upatissa dan dusun Kolita, dua dusun di dekat Rajagaha. Ketika melihat suatu pertunjukan, mereka menyadari ketanpa-intian dari segala sesuatu. Lama mereka berdua mendiskusikan hal itu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya mereka bersama-sama memutuskan untuk mencari jalan keluarnya.

Pertama-tama, mereka berguru kepada Sanjaya, pertapa pengembara di Rajagaha. Tetapi mereka merasa tidak puas dengan apa yang ia ajarkan. Karena itu, mereka pergi mengembara ke seluruh daerah Jambudipa untuk mencari guru lain yang dapat memuaskan mereka.

Lelah melakukan pencarian, akhirnya mereka kembali ke daerah asal mereka, karena tidak menemukan Dhamma yang sebenarnya. Pada saat itu mereka berdua saling berjanji, akan terus mencari. Jika di antara mereka ada yang lebih dahulu menemui kebenaran Dhamma harus memberitahu yang lainnya.

Suatu hari, Upatissa bertemu dengan Assaji Thera dan belajar darinya tentang hakekat Dhamma. Sang Thera mengucapkan syair awal, "Ye Dhamma hetuppabhava", yang berarti "Segala sesuatu yang terjadi berasal dari suatu sebab".

Mendengar syair tersebut mata batin Upatissa terbuka. Ia langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti magga dan phala.

Sesuai janji bersamanya, ia pergi menemui temannya Kolita, menjelaskan padanya bahwa ia, Upatissa, telah mencapai tahap keadaan tanpa kematian, dan mengulangi syair tersebut di hadapan temannya. Kolita juga berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat akhir syair itu diucapkan.

Mereka berdua teringat pada bekas guru mereka, Sanjaya, dan berharap ia mau mengikuti jejak mereka. Setelah bertemu, mereka berdua berkata kepadanya, "Kami telah menemukan seseorang yang dapat menunjukkan jalan dan keadaan tanpa kematian; Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul; Sangha telah muncul ?, mari kita pergi kepada Sang Guru."

Mereka berharap bahwa bekas guru mereka akan pergi bersama mereka menemui Sang Buddha, dan berkenan mendengarkan ajaran-Nya juga, sehingga akan mencapai tingkat pencapaian magga dan phala. Tetapi Sanjaya menolak.

Oleh karena itu, Upatissa dan Kolita, dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menghadap Sang Buddha di Veluvana.

Di sana mereka ditahbiskan dan bergabung dalam pasamuan para bhikkhu. Upatissa sebagai anak laki-laki dari Rupasari menjadi lebih dikenal sebagai Sariputta. Kolita sebagai anak laki-laki dari Moggalli lebih dikenal sebagai Moggallana. Dalam tujuh hari setelah menjadi anggota Sangha, Moggallana mencapai tingkat kesucian arahat. Sariputta mencapai tingkat yang sama dua minggu setelah menjadi anggota Sangha.

Kemudian, Sang Buddha menjadikan mereka berdua sebagai dua murid utama-Nya (agga-savaka).

Kedua murid utama itu kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana mereka pergi ke festival Giragga, pertemuan dengan Assaji Thera, dan pencapaian tingkat kesucian sotapatti. Mereka juga bercerita kepada Sang Buddha tentang bekas guru mereka, Sanjaya, yang menolak ajakan mereka.

Sanjaya pernah berkata,"Telah menjadi Guru dari sekian banyak murid, bagiku untuk menjadi murid-Nya adalah sulit, seperti kendi yang berubah menjadi gelas minuman. Di samping hal itu, hanya sedikit orang yang bijaksana dan sebagian besar adalah bodoh. Biarkan yang bijaksana pergi kepada Sang Gotama yang bijaksana, sedangkan yang bodoh akan tetap datang kepadaku. Pergilah sesuai kehendakmu, murid-muridku."

Sang Buddha menjelaskan bahwa kesalahan Sanjaya adalah keangkuhannya, yang menghalanginya untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran; ia telah melihat ketidak-benaran sebagai kebenaran dan tidak akan pernah mencapai pada kebenaran yang sesungguhnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 11 dan 12 berikut :

Mereka yang menganggap ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan kebenaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran keliru seperti itu, tak akan pernah dapat menyelami kebenaran.

Mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran benar seperti itu, akan dapat menyelami kebenaran.

Banyak bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.